Dominasi Perang Antara Bakteri dengan Antibiotika, Mana Yang Lebih Unggul?
Sebuah
penelitian mikrobiologi terbaru menambah pengetahuan atas pandangan umum, bahwa
resistensi bakteri disebabkan oleh penggunaan obat-obatan antibotika yang tidak
terkontrol. Sekelompok peneliti Amerika Serikat dan Venezuela menemukan bahwa
gen bakteri flora dapat resisten terhadap obat-obatan antibiotika, walaupun belum
pernah mengonsumsi obat-obatan antibiotika.
Temuan
dari penelitian tersebut menunjukkan, bahwa bakteri punya kemampuan melawan
antibiotika jauh sebelum obat-obatan antibiotika modern digunakan untuk
menyembuhkan penyakit.
Penelitian
tersebut resmi dipublikasikan di jurnal Science Advances ( https://news.wustl.edu/news/Pages/Bacterial-flora-of-remote-tribespeople-carries-antibiotic-resistance-genes.aspx). Hasil penelitian
juga dipublikasikan di sciencedaily.com (http://www.sciencedaily.com/releases/2015/04/150417145023.htm). Selain Fakultas
Kedokteran Universitas Washington, penelitian juga melibatkan Fakultas
Kedokteran Universitas New York, Lembaga Penelitian Ilmiah Venezuela, dan
sejumlah lembaga lain.
Penelitian
dilakukan di pegunungan selatan Venezuela pada anggota suku Yanomami Ameridian,
yang merupakan suku terasing di hutan hujan Amazon. Suku ini adalah suku
pengumpul dan pemburu semi-nomadik yang terisolasi lebih dari 11.000 tahun dari
masyarakat sekitarnya. Karenanya, populasi bakteri di tubuh suku terpencil ini
berbeda dengan bakteri yang ditemukan di Amerika Serikat dan Eropa.
Dilakukan analisis
bakteri-bakteri tersebut yang diambil dari bagian kulit, mulut, dan kotoran 34
orang dari 54 anggota suku Yanomami. Dan ditemukannya gen pada bakteri tersebut
yang resisten terhadap antibiotika. Peneliti juga membandingkan contoh bakteri ini
dengan kelompok orang di Amerika Serikat; suku asli Amazon Venezuela, Guahibo;
dan penduduk pedesaan Malawi di selatan Afrika. "Orang-orang (Yanomami)
ini tidak terpapar antibiotika modern. Satu-satunya antibiotika yang potensial
masuk melalui bakteri tanah yang tertelan yang secara alami membentuk
obat-obatan ini," kata Pehrsson.
Antibiotika Alami
Ribuan
tahun sebelum manusia menggunakan antibiotika modern, bakteri tanah sudah memproduksi
antibiotika alami untuk membunuh saingan mereka. Mikroba-mikroba tersebut
mengembangkan mekanisme pembelaan diri dari antibiotika yang dibentuk mikroba
lain, dengan cara membentuk gen resisten melalui transfer gen horizontal.
Beberapa
tahun belakangan ini, melimpahnya penggunaan
antibiotika dalam dunia medis dan pertanian terutama peternakan,
mempercepat proses resistensi merangsang perkembangan dan penyebaran gen-gen
yang membantu bakteri tahan terhadap paparan antibiotika. Konsekuensinya,
muncul galur penyakit manusia yang lebih sulit disembuhkan.
Ada
hubungannya antara antibiotika modern dan berkurangnya keragaman mikrobioma,
yaitu komunitas bakteri yang ada didalam tubuh. Triliunan bakteri di tubuh
manusia yang bisa menjadi petunjuk kesehatan. Bahwa mikrobioma pada manusia di
negara-negara industri kurang beragam 40 persen, dibandingkan dengan mikrobioma
pada suku Yanomami yang tidak pernah terpapar antibiotika.
Dalam
penelitian ini, akhirnya terbukti bahwa
bakteri dari suku terasing ini membawa gen antibiotika resisten secara diam
yang dapat aktif ketika terpapar dengan antibiotika. Contoh-contoh bakteri yang
mengandung gen resisten tersebut tahan terhadap banyak antibiotika modern.
Penemuan Antibiotika Modern
Antibiotika
modern ditandai dengan penemuan oleh Paul Ehrlich dan Alexander Fleming, namun
sebenarnya antibiotika sudah ada jauh sebelum itu seperti yang ditemukan di
Venezuela. Catatan sejarah antibiotika itu antara lain ditulis peneliti
Universitas Aberdeen, Inggris, Rustam I Aminov, dalam "A Brief History of
the Antibiotic Era: Lessons Learned and Challenges for the Future" http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3109405/.
Jejak-jejak
tetrasiklin misalnya, ternyata ditemukan di tulang belulang manusia di Nubia
(sekarang Sudan) tahun 350-550 Masehi. Dan bangsa Tiongkok sudah ribuan tahun
menggunakan tanaman Artemisia untuk mengobati berbagai penyakit, termasuk
malaria. (Kandungan antibiotika tanaman
Artemisia baru diekstrak tahun 1970-an. Zat itu dinamakan artemisin).
Sejarah
panjang penggunaan antibiotika diduga ikut berkontribusi atas mulai munculnya
resistensi bakteri terhadap antibiotika. Namun, Alexander Fleming dianggap
orang yang pertama kali mengemukakan potensi resistensi bakteri terhadap
penisilin jika digunakan terlalu sedikit atau waktu pemakaiannya terlalu
singkat.
Sekarang,
resistensi bakteri terhadap antibiotika telah menjadi perhatian global yang
penting. Pertanyaannya, bagaimana dengan masa depan penggunaan antibiotika
untuk membunuh bakteri?
Saat ini,
kematian yang timbul karena resistensi bakteri itu cukup tinggi. Setiap tahun
sekitar 25.000 pasien di Eropa meninggal karena infeksi bakteri yang resisten
terhadap beragam antibiotika. Bahkan di Amerika Serikat, kematian pasien
mencapai lebih dari 63.000 orang per tahun. Tantangan untuk mengatasi
resistensi bakteri harus melibatkan banyak pihak, mulai dari mikrobiolog,
ekolog, dokter, pendidik, pembuat kebijakan, anggota legislatif, pekerja
pertanian –peternakan– dan farmasi,
serta masyarakat pengguna antibiotika.
Resistensi bakteri juga disumbang oleh
dunia kedokteran hewan dan peternakan, karena beberapa bakteri penyebab dan
antibiotika untuk hewan sama dengan untuk manusia. Hal itu antara
lain dilaporkan Peter Collignon dan kawan-kawan dalam "Clinical Impotance
of Antimicrobial Drugs in Human Health" (dalam buku Guide to Antimicrobial
Use in Animal, Blackwell Publishing, 2008).
Contohnya Escherichia coli, penyebab infeksi perut
dan saluran kencing, yang telah resisten terhadap aminopenisilin. Bakteri E. coli yang banyak terdapat di
peternakan ayam ini sering menulari manusia.
Peternakan terutama peternakan ayam, masih
memakai antibiotika untuk meningkatkan pertumbuhan ayam. Penggunaan
antibiotika oleh orang selain dokter hewan seperti mantri hewan, paramedis veteriner,
pengembang biak hewan yang tidak sesuai dosis dan jangka waktu pemberian, turut
menyumbang timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotika.
Pembatasan
penjualan antibiotika, undang-undang atau peraturan presiden harus bisa mengatur
dokter. Dokter hewan hanya boleh memberi antibiotika jika terlebih dahulu
dilakukan uji sensitivitas. Dengan demikian, diketahui dengan pasti antibiotika
yang tepat untuk bakteri penyebab penyakit infeksi tertentu.
Dan pada
akhirnya "peperangan" ribuan tahun antara bakteri dan antibiotika
masih akan dimenangi oleh bakteri. Harus ada upaya radikal jika ingin
menyelamatkan generasi penerus kita selanjutnya, dari terjangkitnya penyakit
infeksi yang mematikan.
sumber: print.kompas.com
0 Response to "Dominasi Perang Antara Bakteri dengan Antibiotika, Mana Yang Lebih Unggul?"
Posting Komentar
Terimakasih kunjungannya, saling berbagi tak pernah rugi.